Aku minta sekejap namun kau tinggal selamanya

Lori
4 min readMay 17, 2020

--

Menjelang tengah malam pada 13 Mei aku mengirimkan pengakuanku dalam sebuah surat pada perempuan yang aku kagumi dan impikan 2 tahun terakhir. Syukurlah sekitar pukul 22.30 ada kantor pos yang masih beroperasi dan mungkin aku pengunjung terakhir karena mereka sudah mulai berbenah menutup kantor. Seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kemeja berwarna merah menerima suratku untuk dikirimkan, laki-laki itu kutebak kesulitan tidur seminggu terakhir saat kuperhatikan ada kantung berwarna hitam tepat di bawah kelopak matanya, atau dia baru saja menangis? Kuharap dia hanya tidak bisa tidur.

Hari-hariku lebih gelisah daripada biasanya karena khawatir apakah suratku sampai atau terjatuh di jalan saat pengiriman atau mungkin saja si penerima enggan menerima surat itu. Pada saat itu perkuliahan sedang libur karena sebuah pandemi yang menyerang kota sehingga banyak sekolah, toko, dan kantor terpaksa menghentikan aktivitasnya. Banyak orang yang menyibukkan diri di rumah atau sekadar menutup diri di balik selimut untuk mencegah sepi karena ruang-ruang kosong yang menakutkan karena harus sendirian di tengah ruang itu. Sedang aku, masih gelisah menunggu akan datangnya balasan surat yang tak pernah kutahu apakah itu ada atau hanya harapanku semata.

Seharusnya satu minggu cukup bagi surat itu untuk sampai pada penerima jika tidak ada kendala, namun aku tidak pernah memperhitungkan kalau tukang pos melarikan suratku dan mencuri kata-kataku untuk diberikan pada kekasihnya atau seorang penerbit buku rakus menemukan suratku terjatuh di tengah jalan dan malah menerbitkannya menjadi sebuah buku. Sudah lebih dari sebulan sejak aku mengirimkan surat itu dan belum ada balasan sama sekali, berbagai prasangka mulai menghinggapiku: mungkin dia memang tak pernah menganggap surat dariku penting untuk dibaca apalagi dibalas, mungkin ia menolakku dan lebih memilih tidak membalas, atau mungkin ia memang sudah memiliki seorang kekasih.

*****

Ada sebuah loncatan besar dari kisah ini yang aku sendiripun tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi namun aku sangat tahu apa yang sedang terjadi: 17 Juni aku tidak saja menerima surat balasan darinya namun aku juga melangsungkan pernikahan dengannya. Pagi itu terasa seperti aku sedang berada di kamarku yang pengap dan terlelap di bawah selimut saat hujan mulai turun — nyaman. Sesuatu dalam tubuhku merasa nyaman dan bahagia. Siapa yang tidak bahagia menikahi kekasih yang diidamkan selama 2 tahun?

Pernikahan kami berdua tidak dirayakan dengan pesta hanya mengucap sumpah karena pandemi yang melarang orang banyak berkerumun dan belum banyak orang yang tahu perihal pernikahan kita termasuk teman-teman kami. Meski begitu tidak mengurangi sedikitpun kebahagiaan yang aku rasakan saat menyaksikannya datang dengan gaun putih dan menghampiriku dengan senyum yang tak akan pernah ada bahasa yang bisa mendeskripsikannya. Dia begitu mempesona dan aku sangat beruntung mencintainya.

Setelah prosesi pernikahan yang singkat kami berdua tinggal di sebuah rumah kontrakan dengan uang hasil tabunganku dengan istriku. Terasa aneh menyebutnya sebagai istriku saat bulan lalu untuk menyapanya saja aku masih sungkan. Meski jauh dari kemewahan dan perabot yang serba sederhana namun kita berdua selalu bisa dengan senyum menghabiskan sore di teras rumah membicarakan berbagai rencana kita. “Kamu mau bantu ngajar ga? Aku mau buat sekolah.”

Pernikahan berjalan hampir satu bulan dan terkadang timbul keraguan dalam diriku atas pilihan pernikahan ini yang cukup menggangguku. Terkadang aku bertanya apakah pernikahan ini pantas? Apakah ia mencintaiku? Apakah ia perempuan yang tepat?

source: https://www.sepeda.me/wp-content/uploads/2018/10/Sepeda-Onthel-Modern.jpg

Di satu sore kami berdua memutuskan menghabiskan waktu berkeliling perkampungan dengan sepeda onthel peninggalan mendiang kakekku. Dia membonceng di belakang dan melingkarkan lengan di perutku. Sore itu tidak panas dan sedikit mendung namun matahari yang bergegas tenggelam di balik Merapi masih terlihat elok seperti biasanya. Warna jingganya memancar memenuhi gagahnya gunung itu seperti membakar apa-apa yang berusaha mengusik ketenangan gunung itu.

“Mel?”

“Ya?”

Adakah pelukis paling hebat di dunia? Aku bertaruh tidak akan bisa dia menggambarkan kebahagiaanku saat itu. Aku mengayuh mengayuh dan mengayuh pedal sepeda menuju barat pedesaan saat tanganku yang lain menggenggam erat tangannya dan bibirku menciumnya dengan penuh rasa syukur. Inilah indahnya pernikahan bahkan kau tak perlu membuka celanamu untuk menjadi manusia paling bahagia dalam pernikahan.

Masih teringat satu tahun lalu aku memilih untuk selibat karena menganggap pernikahan hanya bentuk legalisasi untuk bersenggama, “toh aku ga perlu nikah kalo cuman mau ngewe,” pikirku waktu itu. Ternyata ada beberapa hal yang memang untuk memahaminya bukan dengan memikirkannya namun dengan merasakannya dengan mengalaminya, dan yang aku alami saat ini tak akan pernah mampu aku pikirkan satu tahun lalu. Istriku perempuan yang cerdas dan berpengetahuan, meski begitu aku sempat ragu apakah ia perempuan yang tepat? Apakah pernikahanku akan menguntungkan? Apakah aku akan kesusahan? Ternyata yang paling penting dalam pernikahan bukanlah semua itu melainkan adalah bersama dengan orang yang kita cintai dan selamanya saling mencintai.

“Mel, kamu kenapa mau nerima aku?” Aku mulai menghentikan sepeda saat sudah sampai di gerbang desa dan tepat di depan kita jalanan kecamatan yang banyak kendaraan berlalu lalang, “Kamu mau tau? Yauda yuk jalan dulu ke sana,” kita berdua berjalan menapaki aspal yang di kelilingi sawah di samping sampingnya hingga tiba-tiba hujan deras turun dan kita berdua berlari mencari tempat berteduh. Jalanan sudah mulai banjir oleh air hujan dan kita masih berlari bersama dan melemparkan senyum satu sama lain.

Di sebuah pondokan kami berteduh dan aku memalingkan wajah aku membuka mata, “di mana aku?” aku terbangun dari mimpi indahku dan mendapati diri terjebak di kamar dengan ribuan harapan. Segera aku membuka ponsel dan melihat foto perempuan yang aku cintai selama ini, “Ya, ini dia perempuan yang barusan aku nikahi dalam mimpiku.” Aku tersenyum dan memeluk foto itu hingga tertidur dan kali ini tertidur untuk selamanya karena keinginan untuk menetap di kehidupan dalam tidur bersama sang kekasih.

--

--

Lori
Lori

Written by Lori

I write in two languages: language of existence and language of none

No responses yet